(Catatan perjalanan Gili Trawangan) Terlalu lelah untuk menjelajahi Gili Trawangan

“Lepaskan carriermu, lupakan penatmu, nikmatilah indahnya gili trawangan”

Capek, lelah, tenaga berkurang dan entah kosakata apalagi yang bisa menggambarkan kelelahan fisik kami pada saat itu. 4 hari 3 malam di Rinjani, naik turun bukit, dihantam panas dan dingin angin gunung. Lengkap sudah kenikmatan yang disuguhkan Rinjani. Sekarang kami disini, hampir terlelap di sebuah kamar hotel Senggigi beach Hotel yang berlokasi di pinggiran pantai senggigi yang terkenal keeksotisannya.

Kami tiba sekitar pukul delapan malam setelah sempat salah check in di hotel Sheraton, pikiran sudah melayang kemana-mana menikmati kenyamanan akan menginap di hotel itu selama empat malam kedepannya ketika resepsionis memberikan welcome drinkpada kami. Ternyata ada miss comunication antara temanku dan ibunya yang melakukan booking. Jadinya kami dipindahkan ke hotel ini yang berlokasi tak jauh dari Sheraton, kenyamanannya tak begitu jauh berbeda. Masih sama-sama bernuansa pantai (yaiyalah dipinggir pantai) tenang, dan ROMANTIS!

Besok diputuskan kami akan menyeberang ke Gili Trawangan. Keputusan yang sebenarnya tak membuatku begitu senang, karena badan pasti sangat lelah dan tak akan bisa diajak bermaksimal-ria menikmati surga disana. Dari pada protes lebih baik aku tidur saja. Memulihkan energi yang sudah sangat terkuras.
Paginya, setelah bersiap-siap dan sarapan di hotel dengan makan kalap ala anak gunung yang baru turun gunung, kami bergegas menuju pelabuhan Lembar. Liburan kali ini sedikit menyenangkan, mobil jemputan selalu tersedia mengantarkan kemanapun tujuan kami lengkap beserta sopirnya.

20140217-173557.jpg
Tak lama kurang dari satu jam kami menyusuri jalanan dipinggir Lombok Barat, kami tiba di pelabuhan lembar, gerbang yang mengantarkan kami menuju Gili Trawangan. Suasana cukup ramai dengan warga lokal yang ingin menyeberang kesana, ada juga turis lokal dan para bule yang ikutan menyeberang. Kapal berangkat setelah terisi penuh sesuai jumlah penumpang yang ditargetkan. Aku dan temanku duduk didepan. Karena bentuk kapal yang kecil, goyangannya sangat terasa sekali ketika menghantam ombak besar, tak pelak air menyiprat kedalam dan mengenai kami.

Pulau gili trawangan berada paling ujung dari dua gili lainnya, meno dan air yang relatif sepi. Gili trawangan dipilih karena menawarkan hiburan bebas ala-ala pinggiran pantai. Tiba dibibir pulau gili trawangan kami disambut hiruk pikuknya warga dan turis yang mungkin sedang menunggu keberangkatan untuk kembali ke Lombok. Ekspektasiku mengenai pulau gili trawangan seperti di film Arisan 2 langsung hilang. Ketenangan jauh sekali dari suasana yang ada di gili trawangan. “yaaaaah begini toh, yaudah nikmatin aja”

20140217-173751.jpg
Gili trawangan pagi itu sangat cerah. Liburan menikmati pantai di musim hujan seperti ini memang selalu bikin deg-degan takut cuaca jelek. Makanya berkali-kali aku mengecek ramalan cuaca di HP berharap cuaca bagus. Aku kagum dengan pantai ini, air lautnya jernih sekali. Kilau kebiruan menghampar luas bersanding dengan bukit-bukit pulau Lombok yang berada diseberang sana. Ada sebuah dermaga yang menyita perhatianku. Nampaknya indah menikmati pantai dari sana. Kami segera mengisi perut, gerobak bakso yang dijajakan dipinggir pantai menjadi pilihan. Selepas itu kami segera mencari penginapan. Dari ujung ke ujung kami berkeliling mencari penginapan dengan harga yang bersahabat tentunya. Jatuhlah pada penginapan yang cukup besar dengan dua kasur tidur yang besar, AC, kipas angin dan KM di dalam. Cukup nyaman dan harganya bersahabat. Ngadem dan beristirahat sebentar. Dan ternyata kami ketiduran. Aku terbangun sore harinya. Mengajak temanku berkeliling pantai. Karena memang dasarnya sudah bosan dengan pantai dan tubuh yang masih kelelahan, kami hanya menikmati sebentar lalu balik ke penginapan. Aku berganti pakaian, berinisiatif untuk mandi di pantai. Temanku memilih untuk tiduran. Puas menikmati air laut dipinggir pantai atau entah karena bosan dan kikuk mandi sendiri dikelilingi para bule setengah telanjang, aku memutuskan untuk balik ke penginapan kemudian mandi dan balik lagi ke pinggir pantai.

20140217-185015.jpg
Tujuanku kali ini adalah dermaga yang siang tadi ku lihat. Ku arahkan langkah menuju dermaga. Setibanya disana dermaga sepi, untung nih pikirku. Aku memang kurang menyukai keramaian ketika berlibur seperti ini. Ku abadikan panorama gili trawangan sore itu. Pantainya sungguh cantik. Aku jatuh cinta dengan perpaduan warna biru langit yang lembut dan berawan bersanding dengan warna biru laut yang pekat karena jernihnya air laut di pinggiran pulau ini. Mendengarkan musik favorit dengan suasana seperti ini adalah keharusan bagiku. Ku setel playlist lagu favoritku. Kubiarkan tiap baitnya meresap ke telingga. Luar biasa Tuhan!

Puas menikmati sore itu aku kembali ke penginapan. Masih mendapati teman-temanku tertidur lelap, akupun ikut tertidur. Terbangun pukul 9 malam, perut minta diisi nampaknya, kami susuri jalanan pinggiran pantai disini. Segala macam jenis cafe, bar dan resto tersedia disini. Musik reggae, dance-hall, rock tersedia disini. Makananpun begitu, dari yang tradisional indonesia, chinese hingga western tersedia, namun western lebih mendominasi, mungkin dikarenakan pulau ini lebih didominasi turis-turis bule dari pada turis lokal. Makanan dan minuman disini harganya lebih mahal dari harga rata-rata.

Kami berjalan sampai ke ujung, akhirnya pilihan jatuh ke jagung bakar. Bingung mau makan apa. Jauh-jauh kesini makanan yang dimakan cuma bakso, jagung bakar, dan nasi biasa. Entah mungkin selera makan yang hilang atau kantong yang lagi pas-pasan. Entahlah.

Puas menikmati malam disini kami kembali ke penginapan. Sedikit terkejut melihat cafe dan bar banyak yang sudah tutup padahal baru pukul 10 malam.

Paginya kami bangun sedikit lebih pagi. Aku, alvero dan Afib berniat menyusuri pantai pagi hari. Arief masih tertidur pulas. Sebenarnya pantainya tergolong biasa saja. Masih ada sampah disepanjang pantai, pasirnya bercampur dengan pasir hitam, ku curigai pasir hitam itu mengandung mineral timah karena berat ketika ku genggam, sama seperti pasir dipantai dekat rumahku. Yang menarik dari gili trawangan adalah air lautnya yang jernih kebiruan. Berjalan sedikit jauh akhirnya kami menemukan penangkaran penyu. Kami berhenti melihat tukik-tukik kecil ditangkarkan disini. Berfoto sedikit dengan tukik, kemudian balik lagi. Putar arah kami kembali ke penginapan

20140217-175719.jpg
Sepanjang perjalanan temanku alvero selalu sibuk memainkan gitarnya, akupun ikut bernyanyi sekenanya meskipun lupa liriknya. Tiba dipenginapan kami bersiap pulang, kembali ke Lombok. Penjelajahan singkat di Gili Trawangan kali ini belum memberikan kepuasan maksimal. Kami tidak sempat snorkeling apalagi diving (mahal) gak punya lisensi juga.

Semoga suatu hari bisa kembali kesini lagi dan menikmati sepuasnya pulau ini dengan kondisi badan yang lebih fit tentunya

20140217-180330.jpg

(Day 3) Kebersamaan di Danau Segara Anak | catatan perjalanan Gunung Rinjani

“Dibalut indahnya kebersamaan, keindahan panorama segara anak semakin menggairahkan”

Pagi itu kami bangun lebih awal. Apalagi kalau bukan demi menikmati sunrise Rinjani. Landscapenya luar biasa. Suhu dingin yang menusuk pagi itu tak menyurutkan niat kami untuk keluar tenda menikmati sunrise. Beruntun gerimis hanya turun semalam dan tak merusak momen sunrise pagi itu. Sekali lagi sunrisenya juara.
20140216-190944.jpg
Cahaya menyerbak sedikit demi sedikit dari balik puncak Rinjani. Sinarnya bagaikan cahaya surga. Momen langka bagi kami tentunya membuat kami tak henti-hentinya mengabadikan momen pagi itu. Dengan segelas susu dan beberapa lembar roti, kami menikmati pagi yang luar biasa itu. Iringan permainan gitar melengkapi magisnya nuansa plawangan sembalun. Bukit-bukit menuju puncak yang kami lewati kemaren subuh memanjakan mata dengan kegagahannya. Tak menyangka, kemarin kami berdiri dipucaknya.
20140216-191456.jpg

Tak lupa kami mengisi perut. Kali ini tubuhku sudah benar-benar pulih kembali. Setelah selesai mengisi perut. Kami packing peralatan dan bersiap menuju danau segara anak. Turunannya yang sangat curam seperti biasa menciutkan nyaliku. Namun beruntung, jalur yang dibuat seolah menyerupai anakan tangga membuat langkahku sedikit lebih mudah. Namun curamnya kemiringan tebing membuat kita harus berhati-hati menuruninya. Salah langkah bukan tidak mungkin nyawa melayang.
Alvero berada paling depan, arief kususul, dan afib berada paling belakang. Jalur semacam ini sedikit menyenangkan bagiku setelah terbiasa. Aku mampu berjalan sedikit lebih cepat menyusul alvero, meskipun tetap tak mampu menyusul kecepatan langkahnya. Ditengah-tengah perjalanan kami menemui sekumpulan monyet, aku dan alvero berusaha menghindarinya. Monyet disana ukurannya cukup besar dibanding monyet biasanya. Langkah kami percepat, arief dan afib masih dibelakang. Berkali-kali kaki meneriaki nama mereka, menanyakan posisi mereka. Tak lama arief muncul.
Kami jalan bertiga menyusuri lembah itu. Afib dibelakang nampaknya masih jauh tertinggal. Lembah ini Indah bukan main. Tebing-tebing bebatuan dan savana menjadikan panorama yang sangat indah, ditambah pemandangan danau segara anak dikejauhan semakin menambah semaraknya lukisan tuhan.
20140216-191929.jpg
Merasa afib tertinggal jauh dibelakang akhirnya kami putuskan untuk menunggu. Dari teriakannya sepertinya dia masih cukup jauh. Kami berfoto-foto sembari menunggu afib. Tak kurang dari 15 menit akhirnya afib tiba. Mukanya pucat, cemberut, dan kelelahan. Kami tak berhentinya tertawa melihat wajahnya saat itu. Ternyata tadi dia diganggu oleh lima ekor monyet yang kami temui. Beruntung ada porter yang menolongnya. Pengalaman itu membuatnya benar-benar frustasi nampaknya. Wajahnya tak sedikitpun menunjukan kesenangan. Nampaknya derita tebing ini menjadi ujian terberat baginya dipendakian pertamanya kali ini.
Tak lama kami putuskan untuk melanjutkan perjalanan. Tak begitu jauh lagi danau segara anak. Aku berlari. Tak lama ku dengar afib menangis kelelahan, entah karena jatuh atau tak kuat lagi berjalan. Alvero mengambil alih carriernya dan menggendongnya. Namun afib tetap menangis. Entahlah mungkin dia sudah terlalu frustasi dengan jalur tebing tadi. Apalagi ditambah diganggu monyet. Momen yang tak henti-hentinya membuat kami tertawa.

20140216-192524.jpg
Tenda didirikan. Peralatan diatur sedemikian rupa. Dua buah alat pancing yang dibawa Arief dari jakarta menambah semaraknya keceriaan sore itu. Arief dan afib memancing dipinggir danau segara anak. Sementara alvero sibuk memainkan gitarnya, hiburan kecil-kecilan. Dan aku hanya menjadi penonton saja, sesekali mengambil ikan yang berhasil dipancing. Ikan yang berhasil kupancing kubuatkan kolam kecil-kecilan, agar tidak kabur. Disaat kelompok pemancing lainnya mendapatkan ikan yang besar-besar, tim kami cuma mendapatkan ikan yang kecil-kecil yang ukurannya kira-kita seperti telapak tangan anak kecil. Aku menyebutnya anak ikan yang malang. Benar-benar ikan yang kecil.
Berkali-kali arief dan afib berganti tempat agar mendapatkan hasil tangkapan ikan yang lebih besar namun tetap sama saja yang didapatkan ikan kecil semua. Bayangkan saja umpan yang kami berikan hanya tanggo rasa vanilla, nasi, dan pelet ikan. Sungguh lucu sekali ketika aku mengetahui umpan yang diberikan adalah biskuit tanggo. Sementara pemancing lainnya menggunakan ubi sebagai umpan, dikarenakan ikan disini lebih suka makan ubi. Entahlah mitos atau fakta, yang pasti mereka benar, ikan tangkapan mereka dengan umpan ubi sangat besar-besar, padahal alat pancing seadanya. Berbeda dengan kami.
Lelah memancing, kami melanjutkan kegiatan dengan MANDI AIR PANAS. Membayangkannya saja sudah bikin ngiler pada saat itu. Lelah yang mendera selama beberapa hari perjalanan kemarin pasti akan hilang dengan berendam disumber air panas. Jalur menuju air panas tak begitu jauh. Pemandangannya pun tak kalah eloknya. Kalau aku jadi sutradara video klip ternama, sudah pasti tempat ini kujadikan lokas syuting video klip lagu paling romantissstissss.

20140216-192557.jpg
Sesampainya disana kami kebingungan mencari lokasi yang paling nyaman. Pasalnya, lokasi paling strategis dipakai sekelompok bapak-bapak yang melakukan ritual agama hindu. Tak mungkin kami mengganggunya.
Setelah menemukan spot yang dianggap paling nyaman, akhirnh kami membuka pakaian satu persatu dan bersiap nyemplung ke air panas. Dan ternyata! Panasnya luar biasa. Aku hanya berani memasukan ujung kaki saja awalnya. Perlahan-lahan mengguyur tubuh sedikit demi sedikit. Setelah beradaptasi dengan panas akhirnya kuberanikan menenggelamkan seluruh tubuhku. Luar biasa sensasinya. Ada sebuah aliran air panas yang cukup deras. Berada dibawah alirannya seperti merasakan sensasi dipijat. Rileks banget rasanya tubuh ini. Kelelahan berhari-hari di gunung seperti terbayarkan dengan kenikmatan berendam di air panas.
Selesai membersihkan diri. Kami kembali. Aku dan afib kembali ke tenda, arief dan alvero menuju sumber mata air. Afib melanjutkan acaranya memancing. Aku sibuk mendengarkan lagu, memasang earphone ditelinga meresapi bait demi bait lirik lagu payung teduh. Benar-benar momen yang luar biasa.
Setelah sore kami akhirnya memutuskan untuk memasak. Aku sangat excited membakar ikan hasil pancingan. Biarpun ukurannya kecil-kecil tapi rasanya juara. Arief ternyata tidak makan ikan. Aneh rasanya, capek-capek bawa alat pancing dan mancing ternyata dia tidak makan ikan. Demi teman katanya. Luar biasa terima kasih kawan!

20140216-193017.jpg
Malamnya seperti biasa, dihabiskan dengan bercerita dan bermain gitar. Mereka bertiga yang merupakan teman dari SMP bercerita tentang pengalaman-pengalaman mereka dulu. Hanya jadi pendenger setia malam itu. Dibalut dinginnya angin malam itu, ada kehangatan tersendiri yang kami ciptakan dari kebersamaan (bersambung)

(Day 2) Melawan acrophobia di jalur menuju Puncak Dewi Anjani | catatan perjalanan Gunung Rinjani

Kami berjalan langkah demi langkah bukan untuk menaklukan puncak tertingginya, tetapi menaklukan diri sendiri. Tunduklah pada alam, dan alam akan memberikanmu pelajaran paling berharga

Pukul setengah tiga pagi alarm membangunkan kami. Kelelahan masih menyisakan bekas-bekasnya ditubuh ini. Aku yakin diluar udara sangat dingin, ditambah kencangnya angin yang membeku. Tapi niat dan tekad sudah bulat. Kami akan menyambangi puncak rinjani pagi itu. Menjejakan kaki di gunung berapi tertinggi kedua di Indonesia. Sekali lagi semangat harus dipompa.
Setelah membekali perut dengan beberapa gelas susu hangat dan roti kami bersiap menuju puncak rinjani. Segala peralatan dan bekal pendakian dimasukan kedalam satu buah carrier kecil. Kami tak mau lagi pengalaman kehabisan bekal dan air minum di puncak semeru terulang. Lampu senter pendaki lain terlihat dari kejauhan. Ada beberapa tim yang berjalan terlebih dahulu. Kami berdoa, agar pendakian kali ini selamat dan lancar. Kemudian berjalan perlahan-lahan namun stabil. Ini gunung berapi keempat yang ku daki. Treknya mungkin kurang lebih sama dengan trek menuju puncak semeru. Namun kali ini lebih landai, menyisakan curam diujung jalur pendakian sebelum puncak.

Di awal perjalanan kami hampir nyasar, aku yang paling depan membawa timku menuju sebuah batu besar yang berakhir jurang. Putar arah cari jalur lain. Tak lama tanjakan khas jalur puncak gunung berapi terlihat. Pasir bercampur batu mendominasi. Hanya dengan akar-akar edelweiss tangan ini mencari pegangan. Naik tiga langkah turun dua langkah pun berlaku di jalur ini tak ubahnya dengan trek menuju puncak semeru namun lebih landai.
Puncak yang berada disebelah kiri kami berdiri gagah menantang kami. Semangat semakin menjadi-jadi. Langkah demi langkah kami lalui. Terpaan angin kencang semakin menusuk. Jika bergenti terlalu lama tubuh akan menggigil kedinginan. Antisipasi satu-satunya adalah terus berjalan. Aku berada di barisan paling belakang. Berjalan lebih melambat dari temanku. Acrophobia yang ku derita membuat diriku kurang berani melangkah terlalu cepat, aku lebih memilih berjalan lambat dan hati-hati. Otak yang terus dirangsang dengan kengerian jurang dikiri kanan semakin menjadi-jadi. Cemas takut jatuh, khawatir tergelincir kejurang dan berbagai ketakutan lainnya menyergapku. Inilah musuh nomor satuku di gunung, Acrophobia. Teman-temanku banyak yang merasa heran dan lucu “suka naik gunung kok takut ketinggian ” komentar yang paling sering kujumpai

20140216-172617.jpg
Semburat jingga didepan kami disebelah tebing puncak Rinjani malu-malu menyerbakkan sinarnya. Dia tersipu, aku terkesima.
Subhanallah ya Allah, begitu indah kuasamu” berkali-kali memuji tuhanku, dan mengagumi keindahan momen-momen sunrise rinjani di pagi itu. Beruntung cuaca sangat bagus.

20140216-172919.jpg
Momen sunrise sangat sempurna pagi itu. Inilah kedamaian paling hakiki bagiku di puncak-puncak gunung manapun. Inilah momen yang ku cari. Momen kedekatan kita dengan alam. Alam yang begitu liar akan bersahabat jika kita mampu bersikap rendah diri padanya. Jangan congak, sombong apalagi bebuat nakal di Gunung. Kita di gunung untuk menikmati ciptaannya dan momen kebersamaan bersama teman-teman. Itu yang selalu ku tanam ketika ingin mendaki.
Hari sudah semakin terang. Namun kami masih terbata-bata melangkah demi langkah di jalur penuju puncak rinjani ini. Berkali-kali istirahat mengumpulkan tenaga dengan menyantap perbekalan yang kami bawa. Berkali-kali pula tim ku disalip oleh tim lain.
Dengan sisa-sisa tenaga yang tersisa akhirnya kami berhasil menjejakkan kaki di puncak tertinggi Rinjani pukul 8 pagi. Hampir 5 jam kami berjalan. Sujud syukur pertama kali kulakukan ketika melihat plang bertuliskan “Gn Rinjani 3726Mdpl” perasaan haru luar biasa menginjakkan kaki di puncak ini. Mimpiku berbulan-bulan terbayarkan. Temanku yang dibelakang muncul. Kami berpelukan mengucapkan selamat. Rasa haru luar biasa tergambar di wajah kami. Luar biasa kawan perjuangan kita!

20140216-173355.jpg

Tak lupa kami mengabadikan gambar dan panorama dari puncak rinjani. Cuaca pagi itu luar biasa cerahnya. Awan disebelah barat bersanding dengan danau segara anak di sebelah timur. Sebelah selatan panorama desa sembalun menjadi pelengkap landscape luar biasa di Rinjani. Mungkin tak berlebihan jika aku mengatakan tak ada kata-kata yang mampu menggambarkan bagaimana indahnya landscape puncak Rinjani pagi itu

20140216-173953.jpg
ekitar satu jam kami dipuncaknya lalu memutuskan untuk turun. Teman-temanku mendahului. Aku yang sedari awal sudah sangat ketakutan dengan ketinggian semakin menjadi-jadi pas perjalanan turun ke plawangan sembalun. Jurang yang tadi subuh ku lewati kini menganga jelas dikiri kanan. Jalur yang mungkin bagian sebagian mudah, namun bagiku sangat sulit. Langkahku semakin melambat menuruni jalur bebatuan yang sangat licin itu. Teman-temanku sudah jauh didepan hingga akhirnya menghilang dibalik bebatuan. Pagi itu hanya aku sendiri yang terakhir menuruni jalur turun puncak Rinjanj. Keringat mengucur semakin deras. Mataku tak berani menatap sekeliling karena jurang yang menganga disamping kiri dan kanan. Ingin menangis saja rasanya menuruni jalur yang tak habis-habisnya ini. Jika orang bisa saja berlari ketika turun. Aku justru berjalan sangat lambat mencari pegangan sebisanya, bahkan merangkak jika sudah sangat menakutkan bagiku. Inilah ujian kesabaran paling luar biasa bagiku digunung. Berkali-kali temanku memanggilku dari kejauhan, tak ku gubris. Aku lebih berkonsentrasi dengan langkahku. Akhirnya kecuraman jalur berbatu berganti dengan jalur pasir yang sedikit mengeras dan landai. Aku mulai memberanikan mempercepat langkahku, menyusul ketinggalan temanku. Cukup jauh aku tertinggal. Ternyata alvero dan afib menungguku. Aku bersyukur tak menuruni jalur turun ini sendirian. Kemudian kami berlari. Acrophobia ku lawan.
Setibanya di tenda, kami langsung memasak. Perut sangat lapar, tenaga sudah sangat minimal. Keputusan yang awalnya diputuskan untuk turun ke danau segara anak siang itu juga, akhirnya dibatalkan, kami memilih istirahat dan turun ke danau keesokan harinya, dengan pertimbangan siang itu sudah berkabut dan jalur sedikit licin diguyur gerimis. (Bersambung)

Perjalanan menuju puncak Dewi Anjani, Gunung Rinjani (Catatan perjalanan Rinjani)

(Bermimpilah dan jangan tertidur terlalu lama. Bangun dan letakkan mimpi itu di puncak tertinggi, percayalah, niscaya mimpimu akan segera tercapai dengan usaha dan tekad yang kuat)

Kira-kira begitulah bagaimana aku bermimpi untuk menginjakkan kaki di puncak dewi anjani. Bukan hal mudah mewujudkannya. Mencari teman pendaki, mengatur waktu, menyiapkan dana. Berkali-kali gagal merencanakan perjalanan kali ini. Akhirnya tibalah hari dimana semuanya dimulai. Kondisi badan yang drop dan UAS kuliah pun ditinggalkan demi kegilaan mimpi menuju puncak Gunung Rinjani yang sudah berbulan-bulan aku mimpikan.

20140216-155510.jpg
Dalam kondisi badan drop pagi itu semangatku terus meledak-ledak. Tiga hari demam muntaber yang mendera badanku tak akan mampu menahan langkahku menuju puncak impian itu, dewi anjani. Berbulan-bulan kurancang mimpiku untuk kesana. Banyak teman kuajak namun menolak. Kali inibersama temanku alvero chatra dan afip kami siap berangkat menuju puncak dewi anjani. Sedikit cerita, aku dan vero memang cukup sering mendaki, sementara afib tak pernah mendaki gunung sama sekali, ini pengalaman pertamanya. Tim kami sebenarnya berjumlah empat orang, satunya lagi arief akan bertemu dengan kami di bandara Lombok, dialah yang merupakan sponsor utama kami untuk hotel dan transportasi kami di lombok. Sebuah rejeki nomplok bagi mahasiswa berkantong pas-pasan seperti kami.
Tanggal 30 November 2013 menjadi awal langkah perjalanan kami. Terburu-buru, itulah segala sifat perjalanan kali ini. Dimulai dari menuju bandara Husein Sastranegara Bandung kami hampir ketinggalan penerbangan. Dua orang temanku memang sering ngaret. Aku berubah menjadi time keeper selama perjalanan ini.
Insiden pertama ketinggalan tiket pesawat, kedua check in hampir ditutup karena kami tertahan di pintu masuk bandara yang antriannya panjang sekali. Ketiga alat hiking kami dtabung gas mini ditahan dan beruntung saja pisau lipat tidak ikut ditahan. Insiden selesai, pesawat pun lepas landas.
Setiba di Bandara Bali perut yang sedari tadi keroncongan meminta untuk segera diisi. Kita bertiga yang muslim mencari makanan yang halal saja di bandara, cukup beragam pilihannya, tapi karena kita bertiga cukup cerewet urusan makanan jatuhlah pilihan ke solaria. Udah jauh-jauh ke Bali tetep ujung-ujungnya ke Solaria. Selanjutnya bersiap menuju Lombok. Hal yang paling menyenangkan dalam perjalanan kali ini adalah pemandangan alam khas Bali dan Lombok menjadikan perjalanan yang tak kurang satu jam itu sangat menggairahkan. Birunya laut, hijaunya pegununungan dan hamparan pulau-pulau menjadi penyegar bagi mata kami yang lelah dengan bangunan-bangunan tinggi khas perkotaan.
Geliat semangat semakin menjadi-jadi ketika roda pesawat menyentuh bumi Lombok. Bandara Lombok yang relatif sepi sore itu bersanding dengan pemandangan gunung Rinjani yang puncaknya tertutup kabut sore itu.

20140216-160336.jpg
Aku tak berhenti melompat-lompat kegirangan. Temanku Alvero pun tak kalah girangnya melihat gunung Rinjani dari kejauhan. Sementara Afib berbeda penerbangan dengan kami. Pesawatnya tiba 30 menit kemudian. Berkali-kali kutanyakan kepada warga asli lombok tentang Rinjani. Semakin bergairah aku dibuatnya dari jawaban mereka
Satu jam kemudian, kami berempat berkumpul, mobil jemputan tiba. Dan petualangan di bumi sasak ini dimulai.
Here we are! LOMBOK
Perjalanan menuju desa sembalun, kaki gunung Rinjani cukup memakan banyak waktu. Jalanan curam dan berkelok tak menyurutkan semangatku. Sementara temanku sudah tepar tertidur pulas. Kudengar tak henti-hentinya obrolan arief dengan sopir dan guide kami. Orangnya ramah, lawak dan sangat mengerti lombok.
Pukul sembilan malam kami tiba dibase camp. Packing ulang, setelah itu mengisi perut dengan ayam taliwang yang sempat kami beli ditengah perjalanan tadi.
Dinginnya sembalun sudah mulai menyapa malam itu, tapi masih dapat kami tahan tanpa jaket melekat ditubuh. Kami memilih tidur di balai-balai yang disediakan didepan basecamp. Paginya pukul 03.00 kami semua terbangun kedinginan. Peralatan yang sudah kami packing rapi kami bongkar kembali. Ditengah kantuk dan mata setengah tertutup tangan mencari-cari sarung tangan, kupluk, dan sleeping bag. Dinginnya pagi itu luar biasa. Padahal baru di ketinggian 1100Mdpl.

20140216-160514.jpg
Paginya, kami terbangun. Sinar matahari khas pagi menyusup sedikit demi sedikit dibalik tebalnya sleeping bag. Aku ternganga dengan pemandangan disekitarku. Pegunungan yang tak terlihat semalam sekarang menyapa dengan gagahnya didepan mataku. Desa sembalun indahnya luar biasa. Pegunungan mengitarinya. Sapaan warga setempat yang terkenal ramah pun tak kalah menyambut kami. Seolah-olah ini merupakan sambutan bagi kami “SELAMAT DATANG DI RINJANI”. Sekali lagi aku semakin dibuatnya bergairah. Sakit yang ku derita seolah lenyap seketika. Temanku pun tak kalah sigapnya mengabadikan setiap momen yang sangat berharga menurutku. Diputuskanlah setengah delapan pagi kami siap berangkat menuju pintu gerbang pendakian. (Bersambung)