hal terberat dari sebuah pendakian bukanlah perjuangan mencapai puncaknya, tetapi merelakan kegagalan mencapai puncak itu sendiri
Pendakian kali ini begitu memorable bagiku. Berkali-kali pengalamanku naik gunung, baru kali ini gagal menuju puncaknya. Bukan karena badai, cuaca buruk atau masalah teknis lainnya. Kali ini kami merelakan puncaknya dan lebih memilih keselamatan rekan kami
Singkat cerita kami tiba di stasiun Purwokerto sekitar jam tujuh pagi. Perjalanan 7 jam dikereta Serayu dari bandung menuju purwokerto kali ini tidak begitu terasa lamanya. Mungkin karena kali ini aku lebih banyak menghabiskan waktu dengan tidur di kereta. Sementara dua rekanku entah kemana sibuk berkeliling dalam kereta, mungkin mencari kursi kosong lainnya untuk posisi tidur yang nyaman atau sibuk menikmati kopi di kantin kereta.
Tim Pendakian kali ini hanya berjumlah tiga orang. Aku, alvero dan daniel. Bagi Daniel ini adalah pengalaman pertamanya naik gunung. Perencanaan dan persiapan pendakian kali ini termasuk singkat. Malam sebelumnya aku dan alvero mencari peralatan yang kurang. Kami menjelajahi hampir seluruh toko alat outdoor untuk mencari kompor gas kecil yang akan dipakai nantinya. Kebetulan kompor gas portable milik alvero dibawa temannya. Hujan yang mengguyur wilayah bandung malam itu tak sedikitpun mengurangi semangat kami mencari peralatan yang dibutuhkan. Setelah menemukan kompor kami berhenti sejenak di tempat printer. Kami berniat membawa kertas hasil print ini nantinya untuk dipakai keperluan berfoto dipuncak nantinya. Jadilah empat lembar kertas bertuliskan “I love U mom & dad” “HBD (nama adiknya vero)” tulisan yang ini dispesialkan alvero khusus untuk adiknya, tak lupa dia mencetak tulisannya dengan tinta warna ungu, warna kesukaan adiknya, “my first summit” tulisan ini dikhususkan untuk daniel karena ini first summitnya, dan “semangat skripsi” kali ini untukku yang sedang mempersiapkan skripsi waktu itu.
Setibanya di stasiun kami bergegas mencari warung makanan untuk mengisi perut. Kebetulan diseberang stasiun purwokerto terdapat berderet tempat berjualan makanan. Tak perlu pusing memilihnya kami memilih warteg dideretan itu. Puas mengisi perut dan bertanya dengan warga lokal menanyakan angkutan menuju pos bambangan kami bergegas menuju TKP. Angkutan kota menuju terminal kota yang menjadi tujuan awal, untuk kemudian berganti lagi dengan bis kecil menuju pertigaan yang akan mengantarkan kami menuju pos bambangan. Sekitar mungkin satu jam kemudian kami tiba di pertigaan tersebut. Tak lama, ada calo angkutan yang akan mengantarkan kami menuju basecamp bambangan menawarkan angkutannya. Negosiasi harga terjadi. Setelah harga fix kami berangkat.
Satu jam kemudian kami tiba di basecamp bambangan. Kondisi saat itu sangat sepi. Rumah yang dijadikan basecamp itu tertutup rapat pintunya. Kami memanggil petugas, muncul lah pria seumuran yang mengurusi perizinan kami. Selesai mengurusi perizinan, kami langsung bergegas menuju pintu gerbang pendakian. Jalanan masih beraspal namun kondisinya sudah mulai menanjak. Sesampai disana kami abadikan momen itu terlebih dahulu. Kami melanjutkan perjalanan, melewati kebun sayur warga lokal. Kondisi jalan masih landai. Kiri kanan dipenuhi deretan sayur yang baru ditanam dan ada yang sudah siap panen. Setelah melewati kebun sayur warga, jalur mulai memasuki hutan pinus yang tak terlalu lebat. Rekanku Daniel yang sedari awal pendakian sudah ngos-ngosan semakin sering mengeluh. Aku bosan sebenarnya mendengar keluhannya. Namun masih dapat ku tolerir karena ini pendakian pertamanya. Dia yang belum pernah mendaki gunung sama sekali tak membayangkan jika trek digunung itu akan menanjak jalannya. Gambaran dia itu seperti difilm 5cm, jalurnya landai. Padahal salah total, tiap gunung beda karakter jalurnya.
Jalur semakin menanjak. Nafasnya semakin menjadi-jadi ngos-ngosannya. Kami berhenti hampir setiap saat. Mencoba mengimbangi langkahnya. Kasihan aku melihatnya kelelahan seperti itu. Mukanya pucat. Berkali-kali juga dia langsung duduk ketika berhenti. Mungkin karena fisiknya yang jarang dilatih berolahraga makanya dia mudah kelelahan. Atau mungkin karena dia memiliki riwayat penyakit asma. Semakin lama kami berjalan semakin kesulitan dia mengatur nafas. Sampai akhirnya diaterkulai lemas dan tiba-tiba saja ambruk ditengah jalan. Aku kaget melihatnya. Segera kulepaskan carrierku mengambil air untuknya. Begitupun temanku alvero berusaha membangunkannya. Gawat pikirku, jangan sampai ini anak kenapa-kenapa. Berkali-kali kami bangunkan akhirnya dia terbangun. Segera ku suruh lepaskan carriernya. Mukanya pucat. Menurut pengakuannya badannya sangat lemas, kepalanya berat dan tenaganya terkuras habis pada saat itu, ditambah nafasnya yang semakin pendek saja. Kepanikan berkurang. Dia kami izinkan untuk beristirahat terlebih dahulu. Berbagai keluhan muncul dari mulutnya. Nampaknya dia benar-benar kaget dengan jalur pendakian yang seperti ini.
Setelah dirasakan cukup beristirahat kami melanjutkan perjalanan. Tak begitu jauh lagi, pos satu gardu pandang sudah terlihat, rencananya kami akan beristirahat cukup lama disana. Langkah kami percepat, karena rintisan hujan mulai jatuh. Akhirnya tiba juga di pos 1. Waktu tempuh normal yang biasanya hanya berkisar 1,5 jam dari basecamp menuju pos 1 kali ini kami tempuh 2,5 jam. Cukup lama dikarenakan kami banyak berhenti di tengah jalan.
Kami langsung menyiapkan peralatan memasak karena perut sudah lapar pada saat itu. Cuaca diluar sudah mendung dan tak lama hujan besar turun. Beruntung pos 1 ini sangat luas dan bangunannya yang dibuat semi permanen menguntungkan para pendaki berteduh didalamnya. Jadi kita tidak usah repot-repot mendirikan tenda disini.
Kami memasak sop dengan bahan yang sederhana. Isinya cuma kol, kentang, wortel, dan sosis yang dibumbui dengan bawang merah dan bawang putih. Resep sederhana namun rasanya nikmat luar biasa karena di gunung. Cuaca dingin memang paling pas makan sop begini. Selesai makan kami merapikan kembali peralatan kami. Sambil menunggu hujan berhenti kami menikmati rokok, kopi dan bermain gitar. Suasana yang sangat-sangat menyenangkan bagiku. suasana seperti inilah yang kucari di atas gunung. Sesuatu yang mungkin sulit kudapatkan ditempat lainnya. Kedamaian dan keelokan panorama alam yang berpadu dengan dinginnya udara gunung selalu membuat aku rindu dengan puncak-puncak gunung yang lainnya. Alunan petikan gitar daniel dan alvero semakin menghidupkan suasana saat itu. Aku hanya ikut bernyanyi saja. Kami bernyanyi dan bercerita hingga hujan reda. Setelah hujan reda, kami bersiap melanjutkan perjalanan. Targetnya pos 3 sebelum hari gelap. Itinerary yang dirancang sebelum perjalanan berubah total dimana seharusnya malam ini kami sudah tiba di pos 5 untuk kemudian muncak esok subuh. Namun tiba-tiba hujan turun lagi dan jauh lebih deras. Kami memutuskan untuk bermalam disini saja malam ini. Besok perjalanan menuju pos 5 akan dilanjutkan. Api unggun kecil dibuat untuk menghangatkan badan. Kayu yang dibakar hanya seadanya. Puas menghangatkan badan kami segera masuk ke sleeping bag masing-masing untuk tidur. Padahal waktu belum menunjukan pukul 7 malam.
Kami serempak bangun pukul 5 pagi. Segera kopi dibuat sambil menunggu momen sunrise. Semburat jingga diufuk timur mulai muncul perlahan. Menggoda sekali pemandangan didepan mata ini. Kopi dan rokok melengkapi momen indah ini.Gugusan gunung Sindoro dan Sumbing didepan kami terlihat sangat gagah. Seolah mengundang diri untuk mendakinya. Tak lupa kami mengabadikan momen ini. Puas berfoto-foto kami segera merapikan peralatan kami. Pukul 6 pagi kami harus segera cabut menuju pos 5. Mengingat kondisi fisik daniel yang sedikit lemah jalannya maka diputuskanlah berangkat sedikit lebih pagi agar bisa berjalan lebih santai nantinya
Sebelum berjalan kami berdoa terlebih dahulu memohon kelancaran dan keselamatan. Ritme awal pendakian masih lancar. Nafas daniel kali ini lebih normal. Namun karena tanjakan yang semakin curam akhirnya membuat kondisi daniel drop lagi seperti kemaren. Kakinya tiba-tiba kram sebelah. Dia kesulitan berjalan. Padahal ritme kali ini cukup bagus karena alvero yang memimpin didepan, beda ketika aku yang didepan, aku kurang bisa mengatur ritme langkah kaki yang pas untuk daniel. Daniel mengeluh, kali ini mungkin kakinya sudah sangat sakit. Alvero memberikan tongkat kayu yang ditemuinya dipinggir jalan. Kami tetap melanjutkan perjalanan hingga pos 2. Istirahat sebentar makan roti. Tak lama kami melanjutkan perjalanan. Kondisi kaki dan nafas daniel semakin memprihatinkan. Alvero mulai was-was membaca kondisi ini. Apalagi melihat kondisi trek yang terus menanjak tanpa bonus trek landai. Sangat sulit bagi daniel.
Tak lama sebelum
Mencapai pos 3 kaki daniel kram lagi. Kali ini dia benar-benar kesulitan untuk berjalan. Kami berhenti cukup lama. Ditengah keheningan hutan saat itu, alvero memutuskan untuk mengakhiri pendakian kali ini. Awalnya aku kaget. Keputusan yang sulit memang bagi kami semua. Sebelumnya alvero meminta pengertian dariku. Kemudian aku berpikir, memang tak mungkin pendakian kali ini dilanjutkan mengingat kondisi rekan kami daniel sudah cukup parah kakinya. Akhirnya keputusan balik pun dibuat. Bagaimanapun hati harus legowo menerima kegagalan mencapai puncaknya. Kondisi temanlah yang menjadi prioritas terpenting. Seandainya pun jika pendakian dilanjutkan, kami yakin daniel tak akan bisa mencapai puncak dengan kondisi seperti itu. Berkali-kali aku menenangkan hati merelakan puncak. Pasalnya perjalanan menuju kesini tidak mudah, 7 jam lebih perjalanan bandung-purwokerto, ditambah dua jam menuju basecamp bambangan dan sudah hampir mencapai pos 3. Kami berjalan turun perlahan. Kondisi kaki daniel menyulitkan dia bergerak bahkan ketika turun akan terasa lebih sakit lagi.
Singkat cerita kami akhirnya tiba di pintu gerbang pendakian, tak begitu jauh dari basecamp. Sekali lagi aku melihat kebelakang. Berharap mampu melihat puncak slamet yang tertutup kabut saat itu. Sekali lagi aku harus rela dan ikhlas perjuangan kami hanya sampai di pos 3. Masih kugantungkan mimpi menuju puncaknya. Semoga suatu hari nanti bisa kembali.
Pendakian kali ini mengajarkanku banyak hal. Bagaimana caranya meredam ego pribadi, belajar ikhlas, dan yang paling utama adalah mempertahankan kebersamaan. Jika kita mendaki bersama maka kitapun harus turun bersama-sama pula. Susah senang bersama-sama. Bukankah tujuan kita naik gunung adalah untuk memupuk rasa kebersamaan agar lebih erat. Susah, senang, bahagia dan sedih yang dirasakan teman harus menjadi rasa kita bersama juga. Jika satu teman berada dalam kondisi drop kitalah yang harus bisa merangkulnya, menguatkannya kembali. Pernah ku baca sebuah cerita dari suatu blog pendaki lainnya. Saat itu ada pendaki yang mendapatkan pelajaran berharga dari porter di Rinjani. Sang porter mengatakan kepada pendaki itu, kurang lebih begini “jangan pernah tinggalkan temanmu, apapun kondisinya. Digunung, teman jauh lebih berharga dari apapun. Bahkan puncak gunung pun tak akan sebanding harganya dengan secuil kuku temanmu yang kau tinggalkan” cerita ini akan selalu melekat erat dipikiranku. Pelajarannya besar.
Terima kasih gunung Slamet, terima kasih teman, terima kasih petualangan dan pelajaran berharganya.