Gagal mencapai Puncak Gunung slamet | catatan perjalanan gunung slamet

hal terberat dari sebuah pendakian bukanlah perjuangan mencapai puncaknya, tetapi merelakan kegagalan mencapai puncak itu sendiri

Pendakian kali ini begitu memorable bagiku. Berkali-kali pengalamanku naik gunung, baru kali ini gagal menuju puncaknya. Bukan karena badai, cuaca buruk atau masalah teknis lainnya. Kali ini kami merelakan puncaknya dan lebih memilih keselamatan rekan kami

20140219-032034.jpg
Singkat cerita kami tiba di stasiun Purwokerto sekitar jam tujuh pagi. Perjalanan 7 jam dikereta Serayu dari bandung menuju purwokerto kali ini tidak begitu terasa lamanya. Mungkin karena kali ini aku lebih banyak menghabiskan waktu dengan tidur di kereta. Sementara dua rekanku entah kemana sibuk berkeliling dalam kereta, mungkin mencari kursi kosong lainnya untuk posisi tidur yang nyaman atau sibuk menikmati kopi di kantin kereta.

Tim Pendakian kali ini hanya berjumlah tiga orang. Aku, alvero dan daniel. Bagi Daniel ini adalah pengalaman pertamanya naik gunung. Perencanaan dan persiapan pendakian kali ini termasuk singkat. Malam sebelumnya aku dan alvero mencari peralatan yang kurang. Kami menjelajahi hampir seluruh toko alat outdoor untuk mencari kompor gas kecil yang akan dipakai nantinya. Kebetulan kompor gas portable milik alvero dibawa temannya. Hujan yang mengguyur wilayah bandung malam itu tak sedikitpun mengurangi semangat kami mencari peralatan yang dibutuhkan. Setelah menemukan kompor kami berhenti sejenak di tempat printer. Kami berniat membawa kertas hasil print ini nantinya untuk dipakai keperluan berfoto dipuncak nantinya. Jadilah empat lembar kertas bertuliskan “I love U mom & dad” “HBD (nama adiknya vero)” tulisan yang ini dispesialkan alvero khusus untuk adiknya, tak lupa dia mencetak tulisannya dengan tinta warna ungu, warna kesukaan adiknya, “my first summit” tulisan ini dikhususkan untuk daniel karena ini first summitnya, dan “semangat skripsi” kali ini untukku yang sedang mempersiapkan skripsi waktu itu.

Setibanya di stasiun kami bergegas mencari warung makanan untuk mengisi perut. Kebetulan diseberang stasiun purwokerto terdapat berderet tempat berjualan makanan. Tak perlu pusing memilihnya kami memilih warteg dideretan itu. Puas mengisi perut dan bertanya dengan warga lokal menanyakan angkutan menuju pos bambangan kami bergegas menuju TKP. Angkutan kota menuju terminal kota yang menjadi tujuan awal, untuk kemudian berganti lagi dengan bis kecil menuju pertigaan yang akan mengantarkan kami menuju pos bambangan. Sekitar mungkin satu jam kemudian kami tiba di pertigaan tersebut. Tak lama, ada calo angkutan yang akan mengantarkan kami menuju basecamp bambangan menawarkan angkutannya. Negosiasi harga terjadi. Setelah harga fix kami berangkat.

20140219-032317.jpg
Satu jam kemudian kami tiba di basecamp bambangan. Kondisi saat itu sangat sepi. Rumah yang dijadikan basecamp itu tertutup rapat pintunya. Kami memanggil petugas, muncul lah pria seumuran yang mengurusi perizinan kami. Selesai mengurusi perizinan, kami langsung bergegas menuju pintu gerbang pendakian. Jalanan masih beraspal namun kondisinya sudah mulai menanjak. Sesampai disana kami abadikan momen itu terlebih dahulu. Kami melanjutkan perjalanan, melewati kebun sayur warga lokal. Kondisi jalan masih landai. Kiri kanan dipenuhi deretan sayur yang baru ditanam dan ada yang sudah siap panen. Setelah melewati kebun sayur warga, jalur mulai memasuki hutan pinus yang tak terlalu lebat. Rekanku Daniel yang sedari awal pendakian sudah ngos-ngosan semakin sering mengeluh. Aku bosan sebenarnya mendengar keluhannya. Namun masih dapat ku tolerir karena ini pendakian pertamanya. Dia yang belum pernah mendaki gunung sama sekali tak membayangkan jika trek digunung itu akan menanjak jalannya. Gambaran dia itu seperti difilm 5cm, jalurnya landai. Padahal salah total, tiap gunung beda karakter jalurnya.

Jalur semakin menanjak. Nafasnya semakin menjadi-jadi ngos-ngosannya. Kami berhenti hampir setiap saat. Mencoba mengimbangi langkahnya. Kasihan aku melihatnya kelelahan seperti itu. Mukanya pucat. Berkali-kali juga dia langsung duduk ketika berhenti. Mungkin karena fisiknya yang jarang dilatih berolahraga makanya dia mudah kelelahan. Atau mungkin karena dia memiliki riwayat penyakit asma. Semakin lama kami berjalan semakin kesulitan dia mengatur nafas. Sampai akhirnya diaterkulai lemas dan tiba-tiba saja ambruk ditengah jalan. Aku kaget melihatnya. Segera kulepaskan carrierku mengambil air untuknya. Begitupun temanku alvero berusaha membangunkannya. Gawat pikirku, jangan sampai ini anak kenapa-kenapa. Berkali-kali kami bangunkan akhirnya dia terbangun. Segera ku suruh lepaskan carriernya. Mukanya pucat. Menurut pengakuannya badannya sangat lemas, kepalanya berat dan tenaganya terkuras habis pada saat itu, ditambah nafasnya yang semakin pendek saja. Kepanikan berkurang. Dia kami izinkan untuk beristirahat terlebih dahulu. Berbagai keluhan muncul dari mulutnya. Nampaknya dia benar-benar kaget dengan jalur pendakian yang seperti ini.

Setelah dirasakan cukup beristirahat kami melanjutkan perjalanan. Tak begitu jauh lagi, pos satu gardu pandang sudah terlihat, rencananya kami akan beristirahat cukup lama disana. Langkah kami percepat, karena rintisan hujan mulai jatuh. Akhirnya tiba juga di pos 1. Waktu tempuh normal yang biasanya hanya berkisar 1,5 jam dari basecamp menuju pos 1 kali ini kami tempuh 2,5 jam. Cukup lama dikarenakan kami banyak berhenti di tengah jalan.

Kami langsung menyiapkan peralatan memasak karena perut sudah lapar pada saat itu. Cuaca diluar sudah mendung dan tak lama hujan besar turun. Beruntung pos 1 ini sangat luas dan bangunannya yang dibuat semi permanen menguntungkan para pendaki berteduh didalamnya. Jadi kita tidak usah repot-repot mendirikan tenda disini.

20140219-032452.jpg
Kami memasak sop dengan bahan yang sederhana. Isinya cuma kol, kentang, wortel, dan sosis yang dibumbui dengan bawang merah dan bawang putih. Resep sederhana namun rasanya nikmat luar biasa karena di gunung. Cuaca dingin memang paling pas makan sop begini. Selesai makan kami merapikan kembali peralatan kami. Sambil menunggu hujan berhenti kami menikmati rokok, kopi dan bermain gitar. Suasana yang sangat-sangat menyenangkan bagiku. suasana seperti inilah yang kucari di atas gunung. Sesuatu yang mungkin sulit kudapatkan ditempat lainnya. Kedamaian dan keelokan panorama alam yang berpadu dengan dinginnya udara gunung selalu membuat aku rindu dengan puncak-puncak gunung yang lainnya. Alunan petikan gitar daniel dan alvero semakin menghidupkan suasana saat itu. Aku hanya ikut bernyanyi saja. Kami bernyanyi dan bercerita hingga hujan reda. Setelah hujan reda, kami bersiap melanjutkan perjalanan. Targetnya pos 3 sebelum hari gelap. Itinerary yang dirancang sebelum perjalanan berubah total dimana seharusnya malam ini kami sudah tiba di pos 5 untuk kemudian muncak esok subuh. Namun tiba-tiba hujan turun lagi dan jauh lebih deras. Kami memutuskan untuk bermalam disini saja malam ini. Besok perjalanan menuju pos 5 akan dilanjutkan. Api unggun kecil dibuat untuk menghangatkan badan. Kayu yang dibakar hanya seadanya. Puas menghangatkan badan kami segera masuk ke sleeping bag masing-masing untuk tidur. Padahal waktu belum menunjukan pukul 7 malam.

20140219-033758.jpg
Kami serempak bangun pukul 5 pagi. Segera kopi dibuat sambil menunggu momen sunrise. Semburat jingga diufuk timur mulai muncul perlahan. Menggoda sekali pemandangan didepan mata ini. Kopi dan rokok melengkapi momen indah ini.Gugusan gunung Sindoro dan Sumbing didepan kami terlihat sangat gagah. Seolah mengundang diri untuk mendakinya. Tak lupa kami mengabadikan momen ini. Puas berfoto-foto kami segera merapikan peralatan kami. Pukul 6 pagi kami harus segera cabut menuju pos 5. Mengingat kondisi fisik daniel yang sedikit lemah jalannya maka diputuskanlah berangkat sedikit lebih pagi agar bisa berjalan lebih santai nantinya

20140219-034051.jpg
Sebelum berjalan kami berdoa terlebih dahulu memohon kelancaran dan keselamatan. Ritme awal pendakian masih lancar. Nafas daniel kali ini lebih normal. Namun karena tanjakan yang semakin curam akhirnya membuat kondisi daniel drop lagi seperti kemaren. Kakinya tiba-tiba kram sebelah. Dia kesulitan berjalan. Padahal ritme kali ini cukup bagus karena alvero yang memimpin didepan, beda ketika aku yang didepan, aku kurang bisa mengatur ritme langkah kaki yang pas untuk daniel. Daniel mengeluh, kali ini mungkin kakinya sudah sangat sakit. Alvero memberikan tongkat kayu yang ditemuinya dipinggir jalan. Kami tetap melanjutkan perjalanan hingga pos 2. Istirahat sebentar makan roti. Tak lama kami melanjutkan perjalanan. Kondisi kaki dan nafas daniel semakin memprihatinkan. Alvero mulai was-was membaca kondisi ini. Apalagi melihat kondisi trek yang terus menanjak tanpa bonus trek landai. Sangat sulit bagi daniel.

Tak lama sebelum
Mencapai pos 3 kaki daniel kram lagi. Kali ini dia benar-benar kesulitan untuk berjalan. Kami berhenti cukup lama. Ditengah keheningan hutan saat itu, alvero memutuskan untuk mengakhiri pendakian kali ini. Awalnya aku kaget. Keputusan yang sulit memang bagi kami semua. Sebelumnya alvero meminta pengertian dariku. Kemudian aku berpikir, memang tak mungkin pendakian kali ini dilanjutkan mengingat kondisi rekan kami daniel sudah cukup parah kakinya. Akhirnya keputusan balik pun dibuat. Bagaimanapun hati harus legowo menerima kegagalan mencapai puncaknya. Kondisi temanlah yang menjadi prioritas terpenting. Seandainya pun jika pendakian dilanjutkan, kami yakin daniel tak akan bisa mencapai puncak dengan kondisi seperti itu. Berkali-kali aku menenangkan hati merelakan puncak. Pasalnya perjalanan menuju kesini tidak mudah, 7 jam lebih perjalanan bandung-purwokerto, ditambah dua jam menuju basecamp bambangan dan sudah hampir mencapai pos 3. Kami berjalan turun perlahan. Kondisi kaki daniel menyulitkan dia bergerak bahkan ketika turun akan terasa lebih sakit lagi.

Singkat cerita kami akhirnya tiba di pintu gerbang pendakian, tak begitu jauh dari basecamp. Sekali lagi aku melihat kebelakang. Berharap mampu melihat puncak slamet yang tertutup kabut saat itu. Sekali lagi aku harus rela dan ikhlas perjuangan kami hanya sampai di pos 3. Masih kugantungkan mimpi menuju puncaknya. Semoga suatu hari nanti bisa kembali.

Pendakian kali ini mengajarkanku banyak hal. Bagaimana caranya meredam ego pribadi, belajar ikhlas, dan yang paling utama adalah mempertahankan kebersamaan. Jika kita mendaki bersama maka kitapun harus turun bersama-sama pula. Susah senang bersama-sama. Bukankah tujuan kita naik gunung adalah untuk memupuk rasa kebersamaan agar lebih erat. Susah, senang, bahagia dan sedih yang dirasakan teman harus menjadi rasa kita bersama juga. Jika satu teman berada dalam kondisi drop kitalah yang harus bisa merangkulnya, menguatkannya kembali. Pernah ku baca sebuah cerita dari suatu blog pendaki lainnya. Saat itu ada pendaki yang mendapatkan pelajaran berharga dari porter di Rinjani. Sang porter mengatakan kepada pendaki itu, kurang lebih begini “jangan pernah tinggalkan temanmu, apapun kondisinya. Digunung, teman jauh lebih berharga dari apapun. Bahkan puncak gunung pun tak akan sebanding harganya dengan secuil kuku temanmu yang kau tinggalkan” cerita ini akan selalu melekat erat dipikiranku. Pelajarannya besar.

Terima kasih gunung Slamet, terima kasih teman, terima kasih petualangan dan pelajaran berharganya.

20140219-035644.jpg

(Part 1 Edisi Malang) Camping di Laguna Biru, Pulau Sempu | catatan perjalanan sempu

“Setiap jejak dan potret yang tergambar saat itu menciptakan momen yang tak ternilai harganya. Liburan kali ini penuh cerita dan pelajaran di Malang”

Penat, Bosan, dan butuh refreshing. Bayangkan satu bulan penuh mengikuti kegiatan KKN kampus didesa masing-masing. Hampir satu bulan itu pula kami kekurangan hiburan, merasakan kejenuhan dan berbagai hal lainnya. Akhirnya tercetus ide untuk liburan di Malang, entah keluar dari mulut Eja atau Alan, aku yang mendengar ajakan itu langsung mengiyakan. Liburan lagi pikirku!

Segala persiapan kami lakukan beberapa hari sebelum keberangkatan, Alan dan Eja yang menjadi koordinator. Tim kami kali ini berjumlah delapan orang, Aku, Dewi, Abong, Eja, Alan, Nila, Widelma (Ade), dan Irvansa (kokoh). Empat cowok empat cewek. Partner petualang yang paling kocak nantinya. Membayangkan akan berpetualang bersama mereka saja sudah membuat perut dikocok, pasti akan sangat kocak nantinya.

20140218-140547.jpg
Kereta yang kami naiki akan berangkat pukul setengah 4 sore. Jadi kami mempersiapkan segalanya pagi-pagi mengingat jarak antara Jatinangor dan Stasiun bandung cukup jauh. Banyak insiden kecil terjadi. Dari mulai Abong yang ngaret minta ampun, bayangkan saja, janji kumpul jam 11 pagi berangkat menuju bandung, sementara dia jam setengah 11 masih tertidur, aku dan dewi yang kedapatan jatah membangunkannya harus rela mendatangi kosannya dan menggedor-gedor pintu kosnya. Telpon, BBM, sms sama sekali tak digubris. Dia terbangun, membukakan pintu dan kaget melihat kami yang sudah ready untuk berangkat. Kemudian dengan tampang tanpa dosa dia mengatakan “yah gua kira berangkatnya jam 11 malem nanti” F*ckkkkkk kami ngakak mengetahui kebodohan temanku ini, jadilah kami packing secepat kilat membereskan barang-barangnya.

Terburu-buru kami menuju travel. Beruntung tidak terlalu ngaret. Dari awal perjalanan ini sudah gak beres, orang-orangnya otaknya banyak yang gesrek, terutama aku dan abong yang selalu memancing tawa anak-anak. Berbagai parodi film kami praktekan berdua.

Sesampainya di stasiun bandung, karena waktu keberangkatan kereta masih lama kami memilih untuk bersantai, ada yang membelikan makanan, ada yang sibuk mencharge gadget masing-masing, ada yang iseng-iseng mencoba kursi pijat yang disewa, dan yang paling kocak adalah kelakuan abong dan dewi yang sempat-sempatnya bernyanyi bersama kelompok musik yang ada distasiun. Aku lupa mungkin dua atau tiga laku mereka nyanyikan. Kelakuan ajaib!

20140218-141614.jpg
Kereta berangkat, kami makan bersama didalam kereta dengan nasi bungkus padang yang dibeli tadi. Kebersamaan sangat terasa. Sebungkus nasi dibagi empat. Cemilan ludes semua.

20140218-141624.jpg
Cerita tak berhenti disini, teman-temanku iseng keujung gerbong kereta. Membuka pintu gerbong dan sibuk berfoto-foto ala-ala adegan kereta bang zafran dan adinda di film 5cm. Maklum efek film
5CM masih booming saat itu. Tapi yanh ini Jangan ditiru yah, berbahaya. Benar dugaanku, tak lama petugas kereta datang menegur kami. Kami kembali ke kursi. Tak lama kemudian balik lagi ke ujung gerbong. Kali ini giliran kegilaan kami berteriak-teriak nyanyi dangdut jaman baheula, nyanyinya kencang, tapi suaranya fals. Suara serak semua. Capek, akhirnya kami kembali ke kursi kami.

20140218-142040.jpg
Gara-gara kelelahan kami tertidur. Posisi tidur jauh dari kata nyaman pada saat itu. Akhirnya, kami berpencar ke gerbong lain mencari kursi-kursi kosong yang bisa digunakan untuk tidur. Memang sulit mencoba tidur enak dikereta.

Pagi esoknya kereta tiba di Malang, badan sakit semua karena posisi tidur yang kurang nyaman. Sesampai di Malang kami langsung mandi di toilet stasiun. Acara mandi kali ini nyolong-nyong kesempatan dari pengawasan penjaga toilet, pasalnya toilet disini dilarang digunakan untuk mandi. Selesai mandi kami mengisi langsung mengisi perut. Cukup banyak warung makanan distasiun ini. Disela-sela acara makan kami sempat bertanya kepada ibu penjual makanan tentang angkutan menuju pulau sempu, akhirnya dengan berbaik hati beliau mencarikan kami angkutan menuju kesana. Negosiasi harga selesai, kamipun berangkat.

Perjalanan menuju pulau sempu lumayan lama. 2 jam lebih. Jalanan berkelok-kelok. Terkadang tak jarang melewati jalanan dengan jurang dipinggirnya. Pemandangan yang lumayan menarik diluar tak ku hiraukan. Aku lebih memilih untuk beristirahat saja di angkot yang kami sewa. Akhirnya kami tiba di pantai sendang biru. Segera kami mengurusi perizinan untuk memasuki kawasan cagar alam ini. Tujuan kami kesini bukan untuk nakal dan merusaknya. Kami hanya ingin menikmati sedikit keindahan ciptaan tuhan ini (semoga tulisan ini tidak mengundang kontroversi dilain waktu) Kami segera menyewa kapal untuk menyeberang ke pulau sempu, tak lupa sebelumnya kami menyewa sepatu khusus agar lebih mudah melewati trek pulau sempu yang licinnya luar biasa saat itu karena musim penghujan.

20140218-142723.jpg
Sekitar 15 menit kami tiba dibibir pulau sempu. Kami disini berkenalan dengan empat orang pengunjung yang berasal dari Malang, mas wilda, mas bonju, dan mas galuh, satunya lagi saya lupa nama mbaknya (sebut saja teh esa) mereka yang cowok bertiga asli malang, sementara teh esa asli Jogjakarta.
Kami berdoa bersama sebelum memulai perjalanan. Trek didepan sudah cukup menantang. Kubangan air bercampur lumpur kental dan lubang-lubang disana-sini akan siap mengintai kami untuk terpeleset kedalamnya. Kehati-hatian dan kesabaran sangat dibutuhkan melewati trek yang lumayan panjang ini. Berkali-kali kami terjatuh, terpeleset, terjerembab ditrek super licin ini. Berpegangan ke dahan dan rantong pohon disekitarnya adalah cara paling ampuh agar tidak terpeleset.

20140218-143509.jpg
Hampir dua jam lebih menaiki turunan dan tanjakan trek ini akhirnya kami tiba juga di pinggiran laguna biru. Sungguh pelenyap rasa lelah melihat hamparan pantai kecil ini. Air yang tenang beriak-beriak kecil terperangkap didalam laguna ini. Aku dan Eja yang berada dibarisan terdepan semakin semangat mempercepat langkah. Akhirnya kami tiba dipinggir pantai kecil ini. Carrier ku lempar, aku segera berlari menuju air. Begitupun teman-temanku yang baru tiba. Semuanya langsung berhamburan ke laguna ini.

Membersihkan badan yang penuh lumpur. Rasa lelah luar biasa yang kami rasakan hilang seketika ketika disuguhi panorama alam disini. Bayangkan saja laguna kecil dipinggiran samudra hindia ini menawarkan panorama alam yang lengkap. Bukit-bukit hijau saling berhadapan bersisian dengan tebing-tebing karang yang tak kalah tingginya. Tebing-tebing ini seolah menjadi pagar bagi pulau sempu ini agar terhalang dari ganasnya ombak samudra Hindia. Air laut yang mengalir dari lubang-lubang dinding tebing karang terperangkap didalam laguna ini menjadikan panorama alam ini semakin luar biasa. Paradisooooo!

Puas bermain air kami segera mendirikan tenda. Disini tidak ada sama sekali sumber air tawar, kalaupun ada letaknya sangat jauh. Jadilah kami tidak mandi untuk berbilas setelah mandi air laut yang asin dan lengket dibadan.

20140218-144600.jpg
Sore menuju malam akhirnya tenda kami selesai didirikan. Aktivitas selanjutnya memasak. Karena kekurangan air tawar yang kami bawa hanya 11 botol itupun satu botolnya dicuri oleh (kemungkinan besar) cowok dari tenda sebelah, temanku dewi melihatnya langsung para cowok itu mencuri botol minuman kami, kemudian kami datangi tendanya tak ada yang mengaku. Jadilah untuk menghemat air tawar kami menggunakan AIR LAUT untuk memasak nasi. Dan hasilnya rasa nasi yang asin luar biasa. Tak ada yang menyentuhnya.

Insiden kecil terjadi lagi. Besarnya ombak samudera Hindia malam itu ternyata mampu melewati tebing-tebing karang yang tinggi. Air laut masuk kedalam pantai dan akan segera melewati tenda kami dan beberapa tenda lainnya. Menyadari hal itu, kami dan beberapa pemilik tenda lainnya segera membereskan barang-barang dan memindahkan tenda ketempat yang lebih aman. Setelah kepanikan reda, Semuanya tertawa menyadari insiden tsunami kecil tadi. Malam itu laguna biru pulau sempu semarak dengan canda tawa kami dan kelompok petualang lainnya, kami ikut bergabung dengan kelompok lainnya, bermain gitar bersama, berbagi cerita dan keceriaan lainnya didepan api unggun. Waktunya beristirahat dan kembali ketenda untuk memulihkan tenaga esok hari

20140218-145128.jpg
Paginya kami terbangun dengan cuaca yang sangat cerah. Menyadari temanku ade dan nila yang sudah tak ada kami semua terbangun dan mencari mereka, ternyata sedang asyik berfoto ditebing-tebing karang. Pemandangan dari sini lebih luar biasa ternyata. Pandangan kita dibebaskan melihat ke setiap sudut laguna. Bagi anda yang lebih berani, anda bisa memanjat bebatuan tebing yang lebih tinggi diujung sana untuk mendapatkan panorama yang lebih bagus lagi. Namun hal itu sangat berbahaya, terbukti dari plang peringatan yang dipasang. Kami sibuk mengabadikan momen ini. Pemandangannya sangat sayang jika dilewatkan dari sesi foto-foto meskipun pagi itu muka kucel sekali.

20140218-145842.jpg
Puas berfoto kami turun ke bawah. Memasak dan setelah itu packing untuk pulang. Malas sekali rasanya membayangkan trek yang harus dilewati nanti ketika pulang. Rasanya masih ingin berlama-lama disini. Namun logistik yang kami butuhkan kurang mencukupi.

20140218-150049.jpg
Beres packing kami melanjutkan sesi foto-foto bersama. Tripod dipasang sedemikian rupa agar tidak tumbang dihantam angin, pasalnya anginnya sangat kencang. Namun hasil jepretan saat itu kurang memuaskan. Akhirnya kami pulang. Perjalanan pulang lebih mudah dikarenakan kondisi trek yang sudah lebih kering daripada kemarin. Namun tetap saja menjengkelkan karena masih ada trek yang becek. Ranting kecil, kerikil, pasir dan entah apalagi yang masuk kedalam sepatu semakin membuat langkah tidak nyaman. Dua jam, akhirnya tiba dibibir pulau. Perahu jemputan datang. Kami kembali ke sendang biru. Setelah ini bersiap menuju tumpang dan melanjutkan petualangan ke Bromo (bersambung)

20140218-150752.jpg